Revolusi Terselubung Dimensi Pendidikan di Balik Kelamnya Pandemi
Siapa yang tahu bahwa dunia akan menjadi seambyar ini? Tidak ada, karena bisa jadi, ini yang membuat dunia tetap menarik untuk dijalani. Jika ingin semuanya berjalan menyenangkan, Tuhan tentu saja akan menempatkan kita di surga, tanpa harus repot-repot mengirimkan kita ke bumi. Jelas kita tidak tahu apa-apa.
Dan ini pertama kalinya sepanjang hidup saya, bahwa saya merasa hidup dalam sebuah film. Mungkin seperti ini rasanya berperan dalam sebuah reality show.
Siapa yang akan menyangkal bahwa pandemi sudah bukan tentang ancaman virus lagi? Ya, bung! Pandemi sudah membuat segala dimensi kehidupan terlihat begitu ambyar. Kesehatan, ekonomi, politik, pendidikan, semua terlihat begitu kacau.
Karena nyatanya, ancaman datang bukan hanya dari si makhluk mikroskopik itu. Kita sedang dilanda krisis kesehatan, krisis ekonomi, dan krisis pembelajaran. Dan hal yang kemudian kita sadari adalah, pandemi telah membuat mayoritas orang mengalami krisis harapan.
Satu generasi telah dirugikan. Untuk apa berdebat atas hal itu?
Dan tentu saja, generasi muda Indonesia, harapan masa depan bangsa, tidak terhindar atas kerugian pandemi ini.
Berbicara tentang generasi muda kita, belum ada habisnya untuk membicarakan perihal Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Bagaimana pun, metode PJJ ini tidak bisa dinilai efektif atau sekadar membantu. Metode PJJ sangat tidak diinginkan, tidak ideal, apalagi optimal. Siapa juga yang akan menyangkal hal tersebut?
Sangatlah logis bahwa metode PJJ dinilai tidak efektif dalam memberikan pembelajaran, karena ini merupakan metode baru. Setidaknya kita membutuhkan adaptasi beberapa tahun untuk dapat merasa nyaman dan mengambil manfaat dari metode PJJ ini.
Ibarat Anda terbiasa menyelam di kolam kecil dengan kedalaman 1 meter, tiba-tiba dipaksa untuk mengarungi samudera yang luas dan dalam, juga entah ada apa di dalamnya.
Kita terbiasa belajar secara normal, tatap muka secara langsung, dan tertawa bersama dengan teman-teman. Sekarang dalam waktu yang sungguh singkat, tanpa persiapan atau perencanaan apapun, kita dipaksa untuk belajar menggunakan teknologi, di mana mayoritas pelajar dan pengajar masih gagap teknologi, tidak ada tertawa bersama, hanya isak tangis yang terdengar. Dan kita ingin semuanya berjalan dengan ideal? Ya susah!
Ini juga yang membuat solusi dari permasalahan pendidikan saat ini sulit didapat dalam waktu dekat. Memangnya siapa di dunia ini yang sudah mempersiapkan segalanya untuk menghadapi pandemi? Belum ada bukunya, apalagi jurus jitunya. Dan siapa juga yang memiliki debu ajaib Mimi Peri yang bisa membuat keajaiban dalam satu kedipan mata?
Saya tahu, tugas sekolah semakin membludak, kuota semakin sekarat, pikiran semakin berat (semua keambyaran pendidikan di kala pandemi telah saya paparkan dalam tulisan saya sebelumnya).
Tapi hal yang harus kita ketahui adalah, metode PJJ yang kita keluh kesahkan selama ini sama sekali bukan bagian dari rencana Kemdikbud kita. Ya, bung, siapa yang tahu bahwa dunia akan menjadi sekelam ini?
Jadi jika berkenan, mohon pahami hal tersebut. Mungkin itu tidak bisa membuat masalah selesai, tapi setidaknya itu bisa membuat Anda meredakan serangan dan dendam kepada bapak Mendikbud kita.
Karena jika kita sadar, opsi yang dimiliki Kemdikbud tidak lah menyenangkan: pembelajaran tetap berlangsung meskipun kurang efektif atau tidak ada pembelajaran sama sekali. Memilih opsi kedua sama saja merencanakan kebodohan dalam satu generasi, bukan?
Poin pertama yang ingin saya sampaikan, bahwa Pak Nadiem Makarim memiliki tujuan akhir yang cukup membuat saya berderai air mata: untuk generasi muda Indonesia.
Ya, bung! Saya rasa ini belum dimiliki oleh orang-orang sebelum beliau, bahwa para pelajar dijadikan sebagai tujuan akhir, bukan sebagai sarana. Dan ini penting.
Pahami perbedaannya. Saya lapar dan saya ingin makan martabak manis kesukaan saya. Untuk mendapatkan martabak itu, pertama saya harus meninggalkan ranjang saya yang begitu nyaman untuk keluar membelinya. Kemudian saya harus mengeluarkan uang untuk bensin motor.
Belum lagi saya harus mengendap-ngendap keluar dari rumah karena ibu saya melarang untuk banyak makan makanan manis. Dan ya, saya harus rela terjebak dalam kemacetan jalan yang begitu menyebalkan. Sampai pada akhirnya, saya bisa mendapatkan martabak itu.
Dari cerita konyol saya itu, kita dapat pahami bahwa bangun dari rebahan, mengeluarkan uang untuk bensin, mengendap-ngendap dari rumah, dan terjebak dalam kemacetan merupakan sarana yang saya gunakan untuk mencapai tujuan akhir saya: makan martabak manis kesukaan saya.
Seandainya Pak Mendikbud menjadikan pelajar sebagai sarana dan misalnya menjadikan kehormatan sebagai tujuan akhir, beliau akan bodo amat dengan pelajar dan hanya menetapkan kebijakan demi kehormatan dirinya pribadi. Jika ini bukan hal luar biasa yang pernah Anda dengar, saya ingin tahu, sesulit apa masalah Anda saat ini?
Dalam mencapai tujuannya itu, Kemdikbud telah mengeluarkan kurikulum darurat khusus di masa pandemi. Bukan, ini bukan kurikulum baru, melainkan merupakan kurikulum 2013 yang diringkas secara dramatis. Ini menjadi lebih ramping dan “seksi”. Kurikulum ini hanya berfokus pada hal-hal yang esensial dan fondasi untuk melangkah ke jenjang atau kelas berikutnya.
Sama sekali tidak ada paksaan untuk menerapkan kurikulum ini. Eksistensi Merdeka Belajar tidak dilupakan, tentu saja. Namun ini benar-benar 100% legal dan tidak menyeleweng dari kurikulum yang ada. Jadi kenapa begitu khawatir?
Khusus untuk PAUD dan SD, Kemdikbud telah mengeluarkan modul pembelajaran di mana ini bisa dicetak setiap sekolah dan isinya tidak melanggar kurikulum yang ada.
Jelas, ini untuk menghindari anak PAUD dan SD belajar di depan laptop/ponsel, karena hal tersebut hanyalah metode sampah untuk anak seusia mereka. Pembelajaran mereka harus dilakukan dengan interaktif dan menyenangkan, bukan?
Saya tidak ingin bertele-tele akan hal ini, karena jika saya sampaikan semuanya, ini akan menjadi tulisan paling membosankan sepanjang sejarah. Yang jelas, modul itu membuat interaksi antara orangtua dan anak menjadi lebih lengket.
Namun di balik semua kekacauan yang terjadi, kita sama sekali tidak kehilangan harapan. Benar, cahaya itu belum redup. Dan sang super hero kita sedang memantik seberkas cahaya untuk negeri ini.
Heroisme itu Dipersembahkan Oleh, Mas Menteri
Bung, saya benar-benar berderai air mata ketika menonton berita-berita, membaca artikel-artikel tentang pihak-pihak yang memojokkan Bapak Mendikbud kita. Karena di balik kekacauan sekarang ini, bukan hanya kita yang merasakan, namun seantero planet ini. Memang Kemdikbud merencanakan semua ini dari awal? Habis perkara.
Saya bukan penggemar berat dari Pak Nadiem, apalagi pengagum rahasianya. Saya pun tidak sedang membela Kemdikbud, bahkan tidak seorang pun. Tidak, saya berkicau sesuai dengan apa yang terjadi, karena saya cinta kejujuran.
Pada nyatanya, ada butir-butir revolusi kecil yang tidak disadari banyak orang, dan revolusi itulah yang membuktikan bahwa Kemdikbud tidak seburuk yang orang-orang hebohkan.
Pertama, penghapusan Ujian Nasional (UN) yang dulu banyak mendapatkan kecaman, terbukti efektif dan siapa yang menyangkal hal tersebut? Faktanya, UN hanya dirasa istimewa oleh mereka yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas. Iya, bung!
Seseorang yang ingin lolos UN dengan nilai yang mumpuni harus rela mengeluarkan uang untuk bimbel dan jumlahnya juga tidak sedikit. Akibatnya, sekolah-sekolah negeri hanya bisa dirasakan oleh mereka yang tingkat ekonominya menengah ke atas.
Sedangkan mereka yang tingkat ekonominya menengah ke bawah harus rela masuk ke sekolah swasta. Padahal yang mampu membayar SPP setiap bulan itu siapa? Mereka dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah atau menengah ke atas?
Jika saya harus jujur, atas fakta tersebut, UN merupakan sistem paling diskriminasi dalam dimensi pendidikan negeri kita. Tidak setuju? Apa ruginya untuk saya?
Kedua, dana BOS saat ini langsung ditransfer ke sekolah tanpa melalui pihak tertentu yang rawan korup. Dan ini merupakan sebuah solusi sederhana atas hilangnya sebagian dana BOS atau kasus mengemisnya pihak sekolah kepada para orangtua siswa.
Apalagi, di tengah pandemi saat ini, dana BOS tersebut dapat digunakan secara fleksibel, tergantung kebijakan kepala sekolah. Yang jelas, Kemdikbud menghimbau agar dana BOS digunakan untuk menunjang PJJ seperti pemberian kuota atau pulsa kepada siswa, fasilitas TIK, termasuk honor guru.
Kabar gembiranya, Kemdikbud telah memberikan bantuan juga kepada sekolah-sekolah swasta dari BOS afirmasi dan kinerja, yang sebelumnya hanya disalurkan kepada sekolah negeri.
Ketiga, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) disederhanakan menjadi satu lembar. Setelah sebelumnya RPP mirip skripsi mahasiswa yang sudah 7 kali direvisi, kini menjadi lebih sederhana dan ringkas, serta mudah dipahami pastinya. Apakah Anda menemukan hal ini di Kemdikbud sebelumnya?
Keempat, untuk pertama kalinya dalam sejarah Perguruan Tinggi negara kita, S1 khususnya, 25% dari SKS-nya bisa dilakukan di luar prodi kampus.
Jika harus blak-blakan, masih banyak sisi cerah pendidikan kita saat ini yang terbengkalai dari perhatian kita, termasuk sistem zonasi yang membuat sumber daya manusia di setiap sekolah lebih merata. Wajar, kita terlalu disibukkan dengan hal-hal yang sungguh tidak terlalu berfaedah: polemik kata “anjay”, popularitas odading, atau game fitnah-fitnahan itu.
Walaupun kita keteteran dengan metode PJJ, hal indahnya adalah, kita mulai terbiasa untuk mengadopsi teknologi. Sebagaimana yang kita tahu, perkembangan teknologi begitu dinamis dan sangat penting untuk kita mengikutinya.
Memang, ini belum tentu menjadikan negara lebih baik, tapi ini sungguh menarik untuk melihat pengaruhnya. Dan ini menjadi pertama kalinya dalam sejarah, bahwa dimensi pendidikan kita harus berkenalan dengan Google Classroom, video conference tool (Zoom), dan sarana-sarana lainnya.
Dan pandemi ini bukan hanya tentang krisis. Ini juga tentang ancang-ancang. Ya, ini bisa kita jadikan sebagai momentum untuk membangun fondasi pendidikan yang lebih baik. Tentu saja dengan integrasi masyarakat, kebijakan pemerintah, dan para stakeholder.
Dengan kata lain, pandemi ini bisa jadi sebuah kesempatan. Semua keambyaran ini datang dari tempat yang rasional. Jadi kenapa begitu pusing atas hal itu?
Apakah Anda sadar? Di masa PJJ ini, orangtua jauh lebih peduli terhadap anaknya, juga lebih tahu apa yang dipelajari anaknya selama di sekolah. Mungkin ini pertama kalinya dalam sejarah, bahwa orangtua diberikan kesempatan untuk mengenal lebih jauh anaknya di usia sekolah.
Terdengar cukup menyedihkan, memang. Tapi ini kebenaran yang harus diakui. Lagi pun, kebenaran yang paling agung biasanya merupakan kebenaran yang paling tidak enak didengar, bukan?
Di balik kelamnya dimensi pendidikan di kala pandemi, secara tidak sadar Kemdikbud telah melakukan revolusi kecil yang sungguh berharga. Meskipun kecil, tidak lantas membuat berlian dihargai murah, bukan?
Ini bukan contoh tentang positive thinking. Bukan, ini tentang sebuah kesadaran, bahwa segala-galanya, tidaklah terlalu ambyar.
Karena itu, heroisme bukanlah sekadar keberanian atau nyali atau ide-ide yang cerdik. Hal-hal tersebut sudah mainstream dan umum dipakai untuk hal-hal yang sungguh tidak heroik.
Bukan, menjadi heroik adalah kemampuan untuk memunculkan harapan ketika tidak ada sama sekali. Untuk memantik seberkas cahaya dalam gelap gulita. Untuk menunjukkan pada kita kemungkinan munculnya dunia yang lebih baik.
Dan heroisme itu telah dipersembahkan oleh Bapak Mendikbud kita, Nadiem Makarim. Jika Anda tidak tahu, pribadi beliau sungguh luar biasa.
Saya tidak membela beliau di balik segala serangan yang sampai pada beliau. Saya benar-benar netral dan saya tidak sedang mabuk saat menulis ini.
Bahkan, hati saya cukup teriris ketika mendengar berita bahwa beliau telah dilaporkan oleh sekelompok mahasiswa kepada Komnas HAM terkait biaya kuliah. Padahal, beliau telah menerbitkan Permendikbud No. 25 tahun 2020 atas jawaban keluhan para mahasiswa.
Lebih mirisnya, laporan itu datang bersandar pada Permendikbud tersebut. Habis perkara. Apakah ini yang dinamakan sebagai senjata makan tuan?
Saya memang tidak terlalu paham masalah para mahasiswa saat ini, sampai begitu gagahnya menerbangkan surat laporan kepada Komnas HAM. Kenapa tidak langsung saja berdiskusi dengan Kemdikbud? Ya, supaya lebih enak aja, kan?
Ibu Anda memberi uang jajan 30 ribu dalam sehari, kenapa tidak jujur saja dan bilang padanya bahwa uang itu tidak cukup untuk membeli kebutuhan Anda, bukan dengan cara melaporkan ibu Anda ke tetangga bahwa ibu Anda merupakan ibu paling pelit seantero negeri.
Tapi logika saya mengatakan bahwa: segala-galanya tidaklah terlalu ambyar. Dunia adalah ilusi permainan iblis jahannam, jadi kenapa begitu serius, bung?
Tanpa mengurangi rasa hormat, jika berkenan, inilah secuil surat kecil saya untuk … untuk siapa ya? Oh ya, diperuntukkan tidak untuk siapapun.
Saya tahu, kita sedang dilanda berbagai krisis. Dan ini sungguh menyebalkan. Tapi, Tuhan tidak sedang bermain dadu.
Ya, Tuhan tidak menciptakan atau menggerakkan alam semesta seperti anak kecil yang bermain melemparkan dadu secara acak, karena tentu saja, semesta ini bersifat pasti dan teratur. Jadi apapun yang terjadi, itu semua sudah merupakan takdir-Nya. Jadi kenapa kita begitu khawatir?
Jika saya harus blak-blakan: pikiran saya tidak pernah mengharapkan bahwa nanti akan ada vaksin. Jangan dulu dipotong, bung! Inilah segenggam iman sederhana yang saya pegang: pemikiran dengan situasi yang paling buruk.
Ya, saya selalu berpikir, apa keadaan terburuk dari sesuatu, dalam segala hal. Jika saya akan berkendara, saya akan berpikir, “Bagaimana kalau rem motor saya tiba-tiba blong?” Atas pemikiran tersebut, saya benar-benar mengecek rem motor saya dan memastikan semua dalam keadaan baik.
Sekarang saya membayangkan, “Bagaimana jika vaksin tidak pernah ada?” Dan ya, saya mempelajari segala hal yang penting untuk masa depan saya: tentang teknologi. Seandainya saya yakin bahwa di suatu hari nanti akan ada vaksin, saya tidak mungkin menulis ini. Seharusnya saya sedang menikmati ranjang saya yang empuk, menonton film secara maraton, dan menghabiskan cemilan yang ada di rumah. Ya bodo amat, saya hanya akan rebahan sambil menunggu keadaan kembali normal.
Memang realitanya, vaksin pasti ada. Namun untuk segenggam iman sederhana demi memotivasi diri, tidak ada salahnya, kan?
Sumber: Kompasiana
Penulis: Muhammad Andi Firmansyah.
Responses